Saturday, May 3, 2008

KUKB Gencar Lobi Parlemen Negeri Tulip

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=61132

Rakyat Merdeka, Minggu, 04 Mei 2008

KUKB Gencar Lobi Parlemen Negeri Tulip

Belanda Belum Akui Kemerdekaan RI 17-8-45

ADALAH sebuah kenyataan bahwa hingga kini Belanda tetap tidak mau mengakui secara de jure kemerdekaan Republik Indonesia (RI) adalah 17 Agustus 1945, tetapi merupakan hadiah yang mereka berikan tanggal 27 Desember 1949.

Selain itu, Belanda belum pernah minta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, pelanggaran HAM, perbudakan dan sebagainya, dan tidak mau bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan tentara Belanda era 1945-1950, ungkap kata Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R Hutagalung yang baru saja kembali dari Belanda.

“Inilah yang kami pandang pemerintah Belanda melecehkan bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Ini masalah mendasar yang seharusnya diperjuangakan seluruh bangsa Indonesia, terutama oleh para pemimpinnya,” kata Batara sesaat sebelum bertolak kembali ke tanah air dalam bincang-bincangnya dengan koresponden Rakyat Merdeka di Belanda Supardi A. Adiwidjaya, pekan lalu.

Selama di Negeri Kincir Angin, Batara bertemu Krista van Velzen, anggota parlemen Belanda dari fraksi Partai Sosialis; Prof. Dr. Peter Romijn dan Dr. Remco Raben dari NIOD (Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie-Institut Belanda untuk Dokumentasi Perang).

Yang tak kalah pentingnya adalah pertemuan Batara dengan beberapa orang di Belanda yang bersimpati terhadap upaya yang dilakukan KUKB. Misalnya, sejarawan Dr. Herman de Tollenaere dan Dr. Stef Scagliola, penulis buku Last van de Oorloog (Beban dari Perang).

Ketika berkunjung ke Parlemen Belanda di Den Haag, 22 April lalu di Den Haag, Batara Hutagalung diterima Krista van Velzen, anggota parlemen Belanda dari fraksi Partai Sosialis dan asistennya Guido van Leemput. Dalam pertemuan itu, Batara didampingi tim representatif KUKB di Belanda, yaitu Charles Surjandi, Louk Aznam dan Bambang Soetedjo serta koresponden Rakyat Merdeka.

Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar dua jam tersebut, dibahas mengenai kemungkinan menghadirkan beberapa janda korban pembantaian di Sulawesi Selatan dan Rawagede. Sejak dua tahun lalu, KUKB telah membahas kemungkinan ini dengan van Velzen.

Seperti diketahui, Partai Sosialis Belanda telah beberapa kali membawa masalah Rawagede dalam sidang parlemen Negeri Tulip, yang juga dihadiri Pemerintah Belanda. Pada 4 Januari 2008, van Velzen menyampaikan pertanyaan (Kamervragen) kepada Menteri Luar Negeri Verhagen sehubungan dengan peringatan 60 tahun peristiwa pembantaian di Rawagede, yang digelar KUKB bersama Yayasan Rawagede dan Pemerintah Kabupaten Karawang pada 9 Desember 2007.

Pada 9 Desember 1947, satu hari setelah dimulainya perundingan Renville, tentara Belanda masih melancarkan agresi militernya di desa Rawagede di dekat Karawang, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa dalam aksi ala Westerling di Sulawesi Selatan, yang dinamakan standrechtelijke executie (eksekusi di tempat).

Peringatan 60 tahun peristiwa pembantaian tersebut juga mencatat lembaran sejarah baru, karena untuk pertama kalinya hadir seorang wakil dari Kedubes Kerajaan Belanda. Wim Meulenberg, Wakil Kepala Bidang Pers dan Kebudayaan ditugaskan Dubes Belanda untuk Indonesia Nikolaos van Dam untuk mewakilinya ke acara itu.

Pada 13 Februari 2008, Partai Sosialis menyampaikan mosi kepada Pemerintah Belanda sehubungan dengan peristiwa pembantaian di Rawagede. Sementara Partai liberal VVD menentang tuntutan KUKB agar Pemerintah Belanda meminta maaf atas pelanggaran HAM tersebut, sedangkan Partai GroenLinks (kiri hijau) mendukung. Van Velzen sendiri sangat kecewa dengan sikap Pemerintah Belanda yang dianggapnya terlalu meremehkan permasalahan yang sangat serius ini.

Batara bersama tim representatif KUKB di Belanda juga bertemu dengan Prof. Dr. Peter Romijn dan Dr. Remco Raben dari NIOD (Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie – Institut Belanda untuk Dokumentasi Perang) di Amsterdam. Mereka membicarakan kerja sama dalam penyelenggaraan seminar di Belanda, di mana akan dibahas masalah tindak kekerasan dan berbagai pelanggaran yang terjadi selama berlangsungnya konflik bersenjata Indonesia dengan Belanda antara tahun 1945-1950. rm

No comments: