(Kesaksian Soetedjo, seorang korban yang selamat, lihat di bawah ini.
Testimony of Soetedjo, survivor of the Death Train, see below)
De Lijkentrein
Journalistiek-historische reportage van Ad van Liempt. De journalist reconstrueert aan de hand van geheime documenten en vraaggesprekken een gebeurternis die uit het Nederlandse collectieve geheugen lijkt te zijn gewist: de Bondowoso-affaire. Op 23 november 1947 bewaakten Nederlandse militairen in Oost-Java een goederentrein met honderd gevangenen – op de warmste dag van het jaar. Toen na veertien uur de deuren opengingen, bleek bijna de helft van de inzittenen te zijn overleden. Hoe kon het gebeuren, is de juiste vraag die Van Liempt zichzelf stelt.
SDU Uitgevers, Den Haag, 1997, 29,90 gulden.
Beschrijving
Het is 23 november 1947. Op de laatste dag van hun diensttijd in Oost-Java moeten Nederlandse mariniers een trein met honderd gevangenen bewaken. Het wordt een catastrofe. Als na veertien uur de deuren van de drie goederenwagons opengaan, blijken 46 van de honderd gevangenen bezweken. De Bondowoso-affaire was begonnen. Hoe kon dat gebeuren? Wie was verantwoordelijk? Hoe verliep de berechting? Wat ging er in de doofpot? Ad van Liempt, eindredacteur van het televisieprogramma Nova, reconstrueerde de tragedie. Hij had inzage in alle geheime documenten, sprak met de betrokken Nederlandse mariniers en spoorde de Javaanse overlevenden van het transport na vijftig jaar op. Het resultaat is "De lijkentrein", een journalistiek-historische reportage over een gebeurtenis die destijds de wereld schokte, maar die we in Nederland al snel uit ons collectieve geheugen hebben gewist.
Recensie(s)
NBD|Biblion recensie:
Het dekolonisatieconflict tussen Nederland en Indonesië (1945-1949) was deels een bittere strijd, waarbij de Nederlandse strijdmacht greep probeerde te krijgen op de Indonesische guerrillategenstander. Een 'exces' hierin vormde op 23 november 1947 het transport van 100 Indonesische arrestanten in drie afgesloten treinwagons van de buitenpost Bondowoso naar Soerabaja (220 km). Bij aankomst bleken 46 van hen dood. In een minutieuze reconstructie gaat de journalist Van Liempt de gang van zaken na: het transport zelf, de gevolgen en reacties in Indonesië, Nederland en daarbuiten en de berechting van de schuldigen, op basis van eigentijdse bronnen, archivalia en interviews, ook met overlevende Indonesiërs. Hij concludeert dat sprake was van onverschilligheid en slechte organisatie, en daarna van vergoelijking en 'doofpot' aan Nederlandse zijde. In Indonesië wordt het drama nog jaarlijks herdacht. Van Liempt heeft een voortreffelijk, afgewogen en goed leesbaar boek geschreven over een 'exces', dat in verloop en nasleep veel leert over de aard van het conflict toen. Met acht blz. foto's.
(Biblion recensie, Dr. H.A. Poeze.)
=================================================
Catatan: Sesuai tulisan aslinya yang menggunakan ejaan lama.
GERBONG MAUT
Dikirim oleh Djoko Sri Moeljono (71 thn.), putra Soetedjo, penulis kisah ini.
Rasanja lontjeng tanda pukul satu belum lama dipukul, kok sipir pendjara sudah membangunkan kita?
"Bangun, bangun dan siap-siap pindah, bereskan semua barang-barang."
Rupanja kita djadi juga pindah setelah kemarin sempat dibatalkan mendadak. Maka di pagi buta kami membereskan semua barang jang tidak banjak jumlahnja.
Dipagi buta dan masih gelap, kami digiring keluar penjara dan setelah melewati gerbang utama, semua seratus tawanan berjalan beriringan keluar halaman pendjara Bondowoso jang terletak disebelah Timur Alun-alun, bersebelahan dengan Kantor Pos. Kita berdjalan dengan diam, setelah Kantor Pos belok ke kiri melewati tenis baan (lapangan Trnnis – red.), kemudian menudju ke arah pasar.
Pengawal jang berjalan disebelah kita banjak sekali, semua diam sepandjang jalan di pagi jang dingin. Kita tahu arahnja pasti ke stasiun dan setelah melewati djembatan dan Gedung Karesidenen kelihatan di sebelah kiri kita berarti sebentar lagi sampai ke stasiun. Di stasiun kita menunggu tjukup lama sampai semua tawanan masuk kedalam gerbong barang jang banjaknja ada 3.
Di gerbong depan ada 24 tawanan, di gerbong tengah di mana kita berada, djumlah tawanan 38 orang dan ini sama banjaknja dengan gerbong belakang. Saat selesai,masih pagi dan kira-kira djam 5 pagi. Setelah kita berada dalam gerbong barang (atap dan dinding zink dan lantai kaju) pintu ditutup. Terasa mulai panas (Djawa: ungkep). Semakin lama mendjadi semakin panas dan orang mulai membuka badjunja.
Kepada mereka kita nesehatkan agar djangan merokok, karena asap rokok akan menambah buruknja hawa. Kita sudah meraba-raba kedjadian jang kurang baik, tetapi karena kita tak mempunjai alat apa2, maka hanja menjerah kepada Tuhan jang Maha Esa.
Setelah kita berada dalam gerbong satu djam lamanja, hawa mendjadi buruk sekali, orang2 mendjadi gelisah dan mereka buka pakaiannja sama sekali, telandjang bulat beberapa orang. Kepada mereka dinasehatkan agar djangan banjak bergerak dan ada jang mulai menghirup hawa lewat tjelah-tjelah pintu.
Keluh kesah mulai terdengar dan kita sendiri duduk tenang dan mentjari-tjari di kanan-kiri kita kalau2 ada lantai papan jang sudah rapuh. Dengan kuku kita tjoba-tjoba korek lantai dan kemudian dengan sendok seng kita mentjoba membuat lobang. Tetapi gagal karena sendok seng kurang kuat, sedang kaju lantai belum begitu rapuh. Achirnja dengan sendok dan garpu jang lebih kuat, saat sampai di halte pertama, gerbong dan pintu tetap terkuntji rapat. Dengan sendok dan garpu pemberian hadji Samsuri, kita berhasil membuat lobang sebesar kira2 3 cm lebar dan 10 cm pandjang. Kami sekarang punja dua sumber hawa, tjelah2 pintu dan lobang di lantai.
Kita suru orang bergantian mengisap hawa lewat lobang. Mereka kalau tidak dipaksa, tidak mau pergi dari lobang. Hawa sudah membantu, tapi tenggorokan mulai terasa kering karena haus dan kita tidak punja air minum. Sampai di halte kedua pintu tetap tertutup dan terkuntji rapat. Orang mulai minum air kentjingnja sendiri dan hawa semakin panas dan orang mulai ketakutan, mulai ada jang buang air (berak). Setiap gerbong berhenti, mereka ber-teriak2 minta hawa dan minum, terlebih-lebih dari gerbong belakang, meng-gedor2 dinding tapi tidak berhasil, sedang gerbong depan sepi2 sadja. Apakah di gerbong belakang sudah ada jang djadi korban? Kita suruh kawan2 digerbong tenang, hadapi nasib dengan penuh kejakinan akan adanja pertolongan. Tetapi nasehat ini tidak berhasil dan mereka berkelahi berebut hawa.
Kita mulai memikirkan lapar. Kalau kita minta pada pengawal, jawabannja: "G.v.d andjing, di sini tidak ada air, jang ada peluru. Di Surabaja nanti kamu bisa minum sekenjang-kenjangnja"
Rupanja pengawal2 adalah dari bangsa kita sendiri. Gerbong kita djadi gelisah ketika djatuh korban pertama,meninggal dunia. Dari gerbong belakang teriakan dan gedoran mulai berkurang. Apakah mereka sadar atau korbannja sudah bertambah.
Keadaan sangat menjedihkan. Seorang jang akan meninggal, menghembuskan nafas jang penghabisan seperti ajam jang sudah disembelih tetapi belum putus memotong lehernja (mbanjaki) dan sesudah itu keadannja sangat menjedihkan, darah keluar dari mulut dan kuping, mata keluar.
Sampai di halte jang ramai (mungkin Djember) gerbong belakang sudah mendjadi tenang, tidak begitu bergenuruh seperti di halte2 jang lain. Ketenangan tadi djangan2 merupakan tanda banjaknja korban. Korban djatuh di gerbong tengah baru satu, tetapi sangat mengerikan karena setelah satu ber-turut2 djatuh korban baru sehingga djumlahnja meningkat djadi 7.
Kita sendiri mulai chawatir dengan kawan kita Soeperdjono jang sudah dalam keadaan sangat lemah dan tidak mengeluarkan kata2. Waktu beliau minta tidur, kita tjegah. Kita hanja bisa berdoa dan alhamdullah Tuhan mendengar permohonan kita karena mendadak turun hudjan dengan lebat sekali (mungkin halte Klakah).
Dinding gerbong mendadak mendjadi dingin dan basah. Kawan2 merasa kuat lagi dan mereka men-djilat2 dinding agar sekedar dapat air untuk membasahi tenggorokan.
Keadaan dalam gerbong mendjadi tenang. Sewaktu kawan kita Soepardjono men-tjari2 di bingkisan teman2, dia menemukan sebuah mangga dan dilahapnja dan sisanja bidji pelok diberikan kepada teman2 untuk di-djilati (Djawa: klumuti) bergantian. Buah
mangga ini jang mungkin menjelamatkan jiwa Soepardjono.
Ketika gerbong berhenti dan tjukup lama, kita lihat dari sela2 bahwa diluar sudah gelap dan malam (ternjata kita sudah sampai di stasiun Wonokromo). Kita mendengar suara membuka pintu dan itu dari gerbong belakang.
Kemudian terdengar suara keras:"Kluar!"
Tetapi rupanja ta' ada seorangpun jang kluar dan terdengar suara pintu ditutup kembali dengan keras, disusul teriakan:
"Paraat, ze willwn amok maken!"
Kemudian terdengar suara2 pengawal2 menjiapkan senapannja. Sesudah itu pintu gerbong tengah dibuka dan terdengar perintah: "Kluar!"
Alangkah terkedjut kita waktu akan kluar, ternjata kawan kita jang tidur dipangkuan kita telah meninggal dan badannja masih hangat. Djumlah korban dalam gerbong kita djadi 8. Kita disuruh djongkok dan diam di emplacement.
Pengawal menghitung dan bertanja :"Dimana jang 8 lagi?"
Kita mendjawab: "Mati!"
"Hei, mati?"
Kemudian mereka mengosongkan emplacement dan tidak lama kemudian datang pembesar2 militair.
"Siapa di salah satu kamu jang dapat bitjara Belanda?"
Karena tidak ada jang mendjawab, hadji Samsoeri menunjuk kita.
"Ini tuan,bapak ini bisa bitjara Belanda".
Kemudian kita dipanggil dan diberi lampu senter (Djawa: sentolop) dan disuruh selidiki dalam gerbong tengah. Gerbong belakang tak perlu diragukan lagi, semua sudah meninggal.
Pintu gerbong belakang ditutup kembali.Keadaan sangat menjedihkan, korban2 bertumpukan di muka pintu dan hanja 2 orang jang meninggal dalam keadaan duduk di sebelah podjok.
Mula2 kita mengira mereka masih hidup, ternjata sudah mati. Sewaktu kita disuruh mengeluarkan korban2, keadaan kita sudah pajah dan lapar, tetapi karena korban2 adalah kawan2 kita sendiri, maka dengan terpaksa dan dengan air mata meleleh kita kerdjakan, Keadaan memang sangat menjedihkan.
Korban2 bisa dikatakan masak di dalam oven (pembakaran) Sewaktu mayat diangkat, kulit mereka lepas dan kelihatan putih. Bekas darah kelihatan keluar dari mulut dan kuping, mata dan lidah keluar, sungguh ta' dapat kita lupakan. Ada jang tangannja keatas, ada jang meninggal mlungker.
Begitulah, kita letakkan 46 jiwa di peron stasiun Wonokromo. Sungguh djahanam perbuatan pendjadjah!
Kemudian truck2 jng telah disediakan masuk ke emplacement dan kitapun diperintah memuatnja. Karena kita sudah sangat pajah, maka pekerdjaan itu tidak bisa kita lakukan sebagaimana mestinja. Kalau bukan karena kawan2 kita sendiri dan antjaman sendjata, tak seorangpun kiranja tahan mendjalankannja. Kita tidak tahu ke hospital mana diangkutnja. Rupa2nja sangat dirahasiakan.
Ketika kita sampai di pendjara Bubutan, maka kepada kita diberikan sabun untuk mentjutji badan. Bagaimanapun membersihkan badan, bau majat masih melekat. Saat kita dapat makan di pendjara Bubutan, di mana kita disendirikan dan tidak boleh ber-tjakap2, tidak seorangpun jang bisa makan.
*****
Diatas adalah cuplikan dari catatan Soetedjo, ayah saya, yang dibuat dalam sebuah buku tulis dengan logo disampul : NV Internationale Crediet- en Handelsvereiging "Rotterdam" - buku tulis untuk anak sekolah dimasa sesudah Agresi-II.
Ayah kami bebas tahun 1948 dan harus meninggalkan Bondowoso pindah ke Malang. Saat pindah dibantu seorang dokter Tionghoa, kalau tak salah ingat dr.Oei yang alamatnya di jl. Sekarpote
Di Malang ayah kami pertama kali bekerja ikut aanemer Lo Hok Sioe dan tugas saya setiap sore pinjam koran dari Tio King Hwie yang pedagang tembakau dan tinggal didepan kelenteng, di samping bioskop Emma (tahun 1948-1950).
Gerbong maut diberangkatkan dari Bondowoso 23 November 1947 atau 61 tahun lalu dan perintah pemindahan 100 tawanan yang dinyatakan sebagai extremist yang melakukukan "subversieve activiteit" ditandatangani oleh: J van den Dorpe, 2de Luit. der Mariniers 23 November 1947.
Sang letnan dua ini bertugas dalam: Veilicheidsdienst Mariniers Brigade SHK-IV Bodowoso.
Tiga gerbong maut disimpan di stasiun Bondowoso, stasiun Wonokromo dan Museum Brawijaya Jl.Ijen 25A Malang.
Gerbong depan : 24 tawanan hidup semua
Gerbong tengah : 38 tawanan,meninggal 8 orang
Gerbong belakang : 38 orang,meninggal semua
Saat tiba di Wonokromo setelah perjalanan 13 jam total 44 meninggal, 12 orang sakit payah, 12 lemas dan hanya 32 yang bisa mengurus jenazah sampai jam 02.00 dinihari sebelum mereka dikirim pe penjara Bubutan.
Peristiwa ini tercatat dalam buku "De Excessennota" yang terbit tahun 1995 - ingeleid door Jan Bank, diterbitkan oleh Sdu Uitgeverij Koningennegracht Den Haag 1995
Lihat halaman 21:
Bij een dertien uur durend trein transport van 100 Indonesische gevangenen in drie afgesloten goederenwagens van Bondowoso naar Soerabaja,kwamen 46 gevangenen door verstiking om het leven .......
Karena waktunya berdekatan, dalam buku Excessennota halaman 22 tercantum :
9 december 1947 Rawahgede dsb.
Thursday, December 25, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Belanda memang biadab... Bangsa kita bisa merdeka karena adanya orang2 kuat seperti di orang2 di dlm gerbong maut itu.
Post a Comment