PERINGATAN 61 TAHUN PERISTIWA PEMBANTAIAN DI RAWAGEDE
Monumen Rawagede, 9 Desember 2008
Setelah puluhan tahun Pemerintah Belanda berusaha menutupi lembaran hitam masa lalu Belanda di Indonesia, akhirnya kini Pemerintah Belanda terpaksa mengakui bahwa telah terjadi kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer yang dilancarkan oleh tentara Belanda dalam upaya menjajah kembali Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Pada peringatan 61 Tahun Persitiwa Pembantaian di Rawagede, yang dilaksanakan di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, Kabupaten Karawang, Duta Besar Kerajaan Belanda Dr. Nikolaos van Dam hadir dan membacakan pernyataan tertulis dalam bahasa Indonesia, dan teks bahasa Belanda dibagikan kepada pers Belanda. Ini untuk pertamakalinya seorang pejabat tertinggi dari perwakilan Kerajaan Belanda di Indonesia hadir dalam acara peringatan peristiwa kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia. Pada peringatan 60 Tahun Peristiwa pembantaian di Rawagede yang dilaksanakan pada 9 Desember 2007, Kedutaan Belanda hanya mengirim seorang pejabat rendahan, yaitu Wim Meulenberg, Wakil Kepala Bidang Penerangan dan Pers.
Kehadiran Dubes Belanda ini bukanlah secara sukarela, melainkan atas keputusan parlemen Belanda.
Pada 19 Oktober 2008 di Hotel JW Marriott Jakarta, dalam pertemuan antara 3 orang anggota Parlemen Belanda (Harry van Bommel, Joël Voordewind dan Harm Waalkens) dengan 2 orang janda (Wanti, 84 tahun, dan Wisah, 81 tahun) serta seorang korban selamat terakhir dari pembantaian di Rawagede, Sa’ih, 86 tahun, Harry van Bommel menyatakan setuju dengan pendapat Batara Hutagalung, bahwa paling sedikit Duta Besar Kerajaan Belanda yang harus hadir pada acara peringatan tesebut. Dia berjanji akan membawakan hal ini ke parlemen Belanda.
(lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2008/10/akhirnya-anggota-parlemen-belanda.html)
Anggota Tweede Kamer bertemu dengan 2 janda dan Sa'ih, difasilitasi oleh Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung
Pada 18 November 2008, Harry van Bommel menyampaikan MOSI di parlemen Belanda, yang isinya mendesak Pemerintah Belanda agar menugaskan Duta Besar Belanda untuk hadir pada Peringatan 61 Tahun Peristiwa Pembantaian di Rawagede. MOSI tersebut disetujui oleh mayoritas anggota parlemen.
Dalam sambutannya di Rawagede, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Batara R Hutagalung memberikan informasi mengenai KUKB, kegiatan yang telah dilakukan, dan langkah-langkah yang akan ditempuh. A.l. disampaikan:
KUKB didirikan pada 5 Mei 2005 di Gedung Joang’45, oleh para aktifis Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI). Tujuan KUKB bukanlah untuk membalas dendam, melainkan sebaliknya, menawarkan suatu ‘Rekonsiliasi yang bermartabat.’ Kata dalam bahasa Belanda lebih tepat, yaitu ‘verzoening’, perdamaian, antara dua bangsa yang sederajat, saling menghargai dan mengakui. Menurut KUKB, hubungan Indonesia dengan Belanda belum normal, karena hingga saat ini pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de iure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi pemerintah Belanda, kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu “penyerahan kedaulatan” atau “soevereniteitsoverdracht” dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada bulan Juni 2006, dalam suatu acara, Ketua KUKB menyampaikan kepda dubes van Dam, bahwa Negara yang diakui de iure oleh pemerintah Belanda, yaitu RIS, sudah tidak ada lagi. Sudah dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950, Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI, yang proklamasi kemerdekaannya adalah 19.8.1945.
Dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005, Menlu Belanda (waktu itu) mengatakan, bahwa kini pemerintah Belanda menerima proklamasi 17.8.1945 secara politik dan moral. Dalam wawancara di Metro TV pada 18.8.2005, dia menegaskan, bahwa pengakuan secara yuridis telah diberikan akhir tahun 1949.
Contoh lain mengenai ketidak setaraan Indonesia dengan Belanda adalah perlakuan terhadap warga yang akan berkunjung. Seorang pemuda Belanda dengan ransel punggung (back packer) yang akan berkunjung ke Indonesia, cukup dengan tiket dan uang di kantong 200 atau 300 Euro, dapat langsung ke Indonesia, dan di bandara di Indonesia akan langsung mendapat ‘visa-on-arrival.’ Di lain pihak, seorang milyuner Indonesia yang hendak berkunjung ke Belanda, sangat sulit untuk memperoleh visa Belanda. Dia harus mendapat undangan dari Belanda, menunjukkan rekening Bank selama tiga bulan terakhir, dan kemudian menunggu lebih dari seminggu. Hal ini masih seperti di zaman penjajahan, yaitu perlakuan yang tidak setara terhadap pribumi.
Pada 20 Mei 2002, pada puncak perayaan 400 tahun berdrinya VOC yang dirayakan secara besar-besaran di Belanda sepanjang tahun 2002, KNPMBI mengadakan demonstrasi ke Kedutaan Belanda, dan menyampaika protes atas perayaan tesebut, karena perayaan ini merupakan penghinaan kepada bangsa Indonesia, karena bagi bangsa Indonesia masa VOC merupakan awal dari penjajahan, perbudakan, perampokan kekayaan Nusantara dan pembunuhan ratusan ribu penduduk yang dijajah. Bagi Belanda, zaman VOC disebut sebagai zaman keemasan (de gouden eeuw) dan hal ini dapat dilihat di situs Kementerian Luar Negeri Belanda.
Sebagai hasil protes, Duta Besar Belanda (waktu itu), Baron Schelto van Heemstra mengusulkan suatu kerjasama penyelenggaraan seminar yang membahas dua sisi VOC, yaitu dari sudut pandang Indonesia dan dari sudut pandang Belanda. Pada 3 dan 4 September 2002, diselenggarakan seminar dengan judul “VOC. Dua Sisi Perusahaan Multinasional Pertama Di Dunia.” Pembicara adalah 6 pakar sejarah dari Indonesia dan 4 pakar sejarah dari Belanda.
Pimpinan KNPMBI pertama kali mengetahui mengenai peristiwa pembantaian di Rawagede tahun 2004, dari almarhum Bapak Tadjoedin, seorang Angkatan ’45. Setelah mempelajari mengenai peristiwa ini, maka KNPMBI memutuskan untuk membuat peristiwa pembantaian di Rawagede sebagai ujung tombak tuntutan kepada pemerintah Belanda. Namun KNPMBI tetap memperjuangkan seluruh korban agresi militer yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Karena kegiatan KNPMBI tidak hanya sehubungan dengan Belanda, diputuskan untuk mendirikan komite yang khusus menyangkut hubungan Indonesia-Belanda. Maka didirikanlah Komite Utang Kehormatan Belanda. Kata Utang-Kehormatan merupakan satu kata, dan kata ini merupakan satu kata yang bersejarah, yang pertama kali digunakan oleh Dr. Conrad Theodor van Deventer, seorang mantan pengacara di Semarang. Ketika kembali ke Belanda, dia menulis kritik tajam terhadap praktek-praktek kolonialisme yang sangat tidak manusiawi. Judul tulisannya di media Belanda De Gids adalah ‘Een Ereschuld’, yang artinya adalah ‘Satu Utang Kehormatan.’ Kritiknya mengakibatkan pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan baru yang dinamakan ‘Politik Etis.’
Pada 27 Mei 2005, Ketua KUKB menunjuk Jeffry Pondaag sebagai representatif di Belanda. Dalam kunjungan ke Belanda bulan Desember 2005 bersama Ketua Dewan Penasihat KUKB, Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua KUKB meresmikan KUKB Cabang Belanda dan mengangkat Jeffry Pondaag sebagai ketua KUKB Cabang Belanda serta Charles Surjandi sebagai sekretaris. Seorang anggota Dewan Penasihat KUKB, Bapak Irsan, yang juga mantan Dubes RI untuk Belanda dan kemudian untuk Jepang, memberikan sumbangan sebesar 1.000 US Dollar, untuk biaya mendirikan yayasan KUKB di Belanda, dan untuk membayar pengacara yang akan mewakili keluarga korban pembantaian di Rawagede. Tahun 2006, KUKB Cabang Belanda menjadi Yayasan KUKB.
Pada 24 Oktober 2008, pemeritah Belanda secara resmi menolak tuntutan kompensasi yang dimajukan 9 orang janda dan seorang korban selamat dari pembataian di Rawagede. Namun pemerintah Belanda menawarkan untuk berdiskusi dengan para janda dan korban selamat untuk membantu mereka. Alasan pemerintah Belanda adalah, bahwa kasus tersebut tidak dapat diterima karena telah terlalu lama alias daluarsa.
Alasan penolakan ini tidak dapat diterima. Di International Criminal Court -ICC (Pengadilan Kejahatan Internasional) yang sejak Januari 2002 berkedudukan di Den Haag, Belanda, ada tiga jenis kejahatan yang tidak ada daluarsanya, dan sampai kapanpun masih dapat diuntut, yaitu pertama, Genocide atau pembantaian etnis. Kedua, Crimes against humanity atau Kejahatan Atas Kemanusiaan dan ketiga, War crimes, atau Kejahatan Perang. Sebagai contoh, pembantaian etnis yang dilakukan oleh Turki terhadap etnis Armenia tahun 1915, setelah hampir 100 tahun, masih aktual di Eropa. Penjahat-penjahat perang Jerman yang masih belum tertangkap, sampai sekarang masih diburu atas kejahatan yang dilakukan selama Perang Dunia II tahun 1939 - 1945. Para mantan interniran Belanda yang diinternir oleh Jepang antara tahun 1942 – 1945, sampai sekarang masih menuntut pemerintah Jepang. Yang dituntut oleh Indonesia adalah untuk kejahatan-kejahatan yang terjadi setelah usai perang Dunia II tahun 1945. Jadi usia kasusnya masih lebih muda dibandingkan dengan yang dituntut oleh Belanda sendiri.
Memang di International Criminal Court tidak mengenal azas Retro active atau berlaku surut, namun untuk kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum adanya ICC dapat diadili di pengadilan ad hoc atau suatu tribunal, sebagaimana yang dilakukan terhadap penjahat perang Rwanda yang membantai etnis Tutsi tahun 1994. Demikian juga dibentuk tribunal untuk mengadili penjahat perang Serbia, yaitu Radovan Karadzik dan Slobodan Milosevic. Tahun 1996, seorang Dosen fakultas Hukum di Universitas Erasmus, Kneepkens, yang mengajar mengenai Law of War (Hukum Perang), mengusulkan agar dibentuk suatu tribunal yang terdiri dari pakar-pakar hukum internasional guna meneliti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia.
Human Rights Watch di Amerika Serikat melalui email memberi informasi kepada Ketua KUKB, bahwa korban agresi militer Belanda di Indonesia dapat menuntut pemerintah Belanda di Amerika dengan menggunakan Alien Tort Claims Act. Juga kasus kejahatan perang ini dapat dimajukan ke Security Council (Dewan Keamanan) PBB, agar dibentuk Fact Finding Commission guna meneliti kejahatan perang yang telah dilakukan oleh tentara Belanda.
Apabila hal-hal tersebut dilakukan, maka situasi ini akan berlangsung lebih lama dan akan terbongkar semua kejahatan perang yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia. Oleh karena itu, Ketua KUKB menyampaikan, di Jerman ada pepatah, yang pasti dikenal oleh Dubes van Dam, karena pernah bertugas sebagai Diplomat di Jerman selama 7 tahun. Pepatah itu berbunyi dalam bahasa jerman : “Lieber Ein Ende mit Schrecken, als ein Schrecken ohne Ende.” Artinya: “Lebih baik suatu akhir yang dramatis, daripada suatu drama tanpa akhir!”
Duta Besar Belanda, Dr. Nikolaos van Dam membacakan pernyataan tertulis dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut:
Pidato Duta Besar Belanda Dr. Nikolaos van Dam
Dalam rangka Peringatan Tragedi Rawagede
Rawagede/ Balongsari, 9 Desember 2008
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Salam sejahtera bagi kita semua,
Yang terhormat Bapak LetJen purnawirawan Haris Suhud, mantan Ketua MPR/DPR Republik Indonesia;
Yang terhormat Bapak Arifin, Sekda Kabupaten Karawang;
Yang terhormat para anggota keluarga serta kenalan korban Tragedi Rawagede 61 tahun yang lalu, tepatnya 9 Desember 1947;
Yang terhormat para anggota Komite Utang Kehormatan Belanda;
Yang terhormat Bapak Ibu sekalian.
Sebagai perwakilan Kerajaan Belanda, negara yang dulu bertanggung jawab atas pemerintahan kolonial di kepulauan Nusantara ini, saya menganggap adalah hal yang istimewa untuk dapat hadir hari ini pada upacara peringatan di Rawagede ini dalam rangka memperingati tragedi yang terjadi di sini pada tanggal 9 Desember 1947. Kehadiran saya di sini bukan saja merupakan keinginan pribadi saya sendiri dan keinginan pemerintah Belanda, tetapi sebagian besar anggota parlemen Belanda baru-baru ini telah menyatakan dengan jelas keinginan ini juga.
Berulang kali pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya kepada bangsa Indonesia atas peristiwa-peristiwa pada tahun 1947 itu, seperti yang pada tahun 2005 disampaikan secara langsung oleh Menteri Luar Negeri saat itu, Bernard Bot. Pernyataan maaf pemerintah Belanda juga secara jelas berkaitan dengan penderitaan yang dialami oleh keluarga korban Rawagede.
Pemerintah Belanda sangat menyesalkan atas tindakan tentara Belanda di Rawagede pada tahun 1947. Peristiwa itu merupakan salah satu contoh paling menyedihkan dari cara Belanda dan Indonesia untuk saling berpisah saat itu dengan begitu menyakitkan dan penuh kekerasan. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Bot saat itu: jika sebuah masyarakat ingin menghadapi masa depan dengan kedua mata terbuka, maka harus juga mempunyai keberanian untuk menghadapi sejarahnya sendiri. Ini berlaku untuk setiap negara, termasuk Belanda dan Republik Indonesia. Kami, bangsa Belanda, harus mengakui kepada diri kami sendiri dan kepada bangsa Indonesia bahwa selama dan terutama pada akhir masa kolonial, kesalahan dilakukan, yang mencederai kepentingan dan martabat bangsa Indonesia – walaupun maksud Belanda secara perorangan mungkin tidaklah selalu buruk.
Akhir dari masa kependudukan Jepang di Indonesia bukan berarti akhir dari penderitaan bangsa Indonesia dan juga masyarakat Belanda di Indonesia. Masa kependudukan Jepang dan masa tidak lama setelah Proklamasi diikuti dengan perselisihan yang sangat menyakitkan dan penuh kekerasan antara kedua negara dan masyarakat kita.
Jika ditinjau kembali, maka jelas bahwa penempatan kekuatan militer pada tahun 1947 telah menempatkan Belanda pada sisi yang salah dalam sejarah. Kenyataan bahwa aksi militer dilaksanakan dan bahwa banyak korban tewas atau terluka dari kedua belah pihak merupakan suatu kenyataan yang pahit dan kejam, terutama bagi bangsa Indonesia. Diperkirakan jumlah rakyat Indonesia yang tewas akibat aksi Belanda itu sangat besar. Atas nama pemerintah Belanda, saya ingin menyampaikan rasa penyesalan yang dalam atas segala penderitaan yang harus dialami.
Terima kasih.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
*****
Ketua KUKB Batara R. Hutagalung dan Dubes Belanda Nikolaos van Dam di Monumen Rawagede
Pada acara peringatan tersebut, diberikan santunan kepada 181 orang yang dinaungi oleh Yayasan Rawagede, termasuk para janda korban dan korban selamat dari pembantaian di Rawagede. Sumbangan dana diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Karawang dan Yayasan Rawagede sendiri.
Di akhir acara dilakukan tabur bunga dan Duta Besar Belanda ikut menabur bunga di beberapa makam korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede pada 9 Desember 1947. Pada hari itu 431 penduduk desa dibantai oleh tentara Belanda tanpa ada proses pengadilan apapun.
Catatan: Dalam teks pidato yang dibagikan kepada pihk Indonesia dalam bahasa Indonesia dan teks pidato dalam bahasa Belanda yang dibagikan kepada pers Belanda, ada perbedaan kata. Dalam teks bahasa Indonesia ditulis ‘permintaan maaf’, namun dalam teks bahasa Belanda, tercantum kata ‘spijt’, artinya menyesal.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment